Doc. PPR |
Oleh Maulana Abdul Aziz*
Beberapa tukang di dunia ini ditakdirkan untuk bisa tahu lebih
dulu sesuatu yang belum diketahui banyak orang. Misalnya panitia tunangannya
Raisa dan Hamish. Sebelum media tahu berita pertunangan mereka, si tukang
ngukur baju sudah tahu lebih dulu. Begitupun tukang dekornya, tukang
cateringnya, tukang fotonya, dsb. Contoh lainnya adalah tukang Cutterme. Tahun
lalu ada pasangan yang sedang menggebu-gebu dimabuk cinta, lalu sang pria
memesan Cutterme untuk pujaan hatinya. Menariknya tanggal sembilan bulan ini,
sang wanita penerima Cutterme itu akan menikah tapi dengan pria lain.
Bahagianya, ada juga yang tahun lalu melakukan pendekatan dengan Cutterme, dan
hari ini mereka sudah resmi tidur berdua, menanti detik-detik menjadi ibu dan
ayah bagi keturunan mereka.
Menjadi tukang adalah sesuatu yang patut dibanggakan. Untuk
menyandang gelar tersebut bukanlah sebuah proses perjalanan yang pendek dan
instan. Gola Gong pernah mengaku dirinya sebagai Tukang Dongeng. Gus Mus tidak
pernah mau mengaku sebagai Ulama, tapi tapi tak membantah sebagai Penyair,
Tukang Puisi. Seno GA pernah berpendapat di Kompas, bahwa dia menganalogikan
dirinya sebagai Tukang. Kata Seno, “Ya, tukang. Bukan robot. Untuk jadi tukang,
keterampilan saja tidak cukup. Ada pergulatan intens. Tukang kayu harus kenal
kayu secara personal. Petani harus kenal cuaca, tanah, air, dan benih secara
personal. Keangkuhan para intelektual saja yang membuat rendah profesi tukang.”
Hemat saya, seorang pemimpin adalah tukang. Ia harus mengalami dan
menjalani pergulatan intens, butuh keahlian khusus, dan bukan sosok yang
tiba-tiba muncul laksana asap yang keluar dari kendi tukang sulap. Pemimpin
lahir dari rahim dinamika yang panjang, yang secara personal kenal dengan
kepemimpinan, kenal hal-hal teknis semacam administrasi dan perundangan, juga
kenal hal-hal implisit dan transenden, semisal diversitas masyarakat yang
terdiri dari ribuan kepala dan hati dengan isi yang berbeda-beda. Sebagai
tukang, pemimpin harusnya tahu lebih dulu milestone apa yang hendak dicapai, tupoksi
apa yang mendukung kepemimpinannya, program apa yang hendak dikerjakan. Jangan
sampai kita melabelinya sebagai ‘tukang’, tapi semua visi, misi, dan program
unggulannya adalah buatan Timses dan orang-orang terdekatnya saja.
Bulan ini, Masisir akan mencari Tukang baru bagi Persatuan Pelajar
dan Mahasiswa Indonesia di Mesir. PPMI merupakan garda terdepan yang
mencerminkan kehidupan akademik mahasiswa Indonesia di Mesir. Kamu mau tahu
bagaimana kehidupan organisasi pelajar di sini, tinggal lihat saja PPMI-nya.
PPMI seperti Bandara Internasional, gerbang pertama yang menyambut banyak orang
yang ingin mengenal isi negaranya. PPMI adalah wajah yang mencitrakan diri dan
identitas pemiliknya. Baik buruknya citra PPMI mewakili baik buruknya citra
Masisir. Yang ikut Simposium PPI Dunia setiap tahunnya adalah PPMI, bukan
kekeluargaan atau komunitas hobi dan kegemaran.
PPMI sebagai 'persatuan' juga seyogyanya menjadi payung yang
menyatukan berbagai perbedaan. Jika menyatukan adalah sesuatu yang sulit,
semisal maksain Masisir ikut tahlilan padahal gak semuanya suka tahlilan, atau
terlalu sering ngadain acara main bola padahal akhwat gak suka main bola, maka
carilah benang merah yang mampu menyatukan. Semisal meningkatkan intensitas
kegiatan akademik dan kegiatan peningkatan keterampilan yang bisa diaplikasikan
di kehidupan mendatang. Meminjam kalimat Soekarno, tanyakan pada dirimu apa
yang sudah kamu berikan untuk negerimu? Atau kata Habibie, apa yang sedang kamu
siapkan untuk tanah air?
Contoh sederhana misalnya, saya belum pernah menemukan ada program
PPMI yang mampu mendorong anggotanya untuk bisa ngomong di depan publik,
presentasi ilmiah, pelatihan dai-daiyah, atau hal-hal lain yang benar-benar
mahasiswa butuhkan tapi tidak tersedia di kelas perkuliahan.
Saya menyadari hal itu ketika ikut sekolah di The American
University in Cairo (AUC). Setiap pertemuan harus presentasi, dan sialnya saya
belajar bagaimana hal itu dilakukan dengan mencari tahu sendiri. Padahal kalau
ada peran PPMI di sana, misalnya karena saya pernah belajar public speaking
di PPMI, jadi tugas presentasi apapun bukan masalah, saya pasti dengan
bangganya bilang “ya! PPMI punya andil yang besar bagi prestasi akademis saya!”
Kalau PPMI punya acara semacam itu, dengan menghadirkan narasumber yang
kompeten, tidak menutup kemungkinan suatu hari nanti, program tersebut akan
mendorong Masisir lebih siap untuk
bersaing dengan alumni negara manapun, lulusan kampus manapun, bahkan bisa jadi
kemampuannya itu mengantarkan ia pada takdir berdakwah kewasatiahan Azhar di
forum United Nation, di Tedx, di Multinational NGO, di berbagai konferensi, di
dunia yang lebih luas di banding majelis taklim dan ceramah kajian di
ruang-ruang Youtube.
Saya yakin bahwa kegiatan skill dan akademik akan terasa lebih
bermanfaat dalam menunjang kebutuhan masa depan Masisir dibanding program lain
yang sifatnya temporer. Toh kita semua sepakat kok bahwa PPMI bukanlah Ormas,
bukan Partai Politik, bukan Asosiasi Bisnisman. PPMI adalah komunitas akademik,
yang isinya semuanya adalah pelajar, yang seyogyanya semua program PPMI tidak
lepas dari Tri Dharma Perguruan Tinggi: Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian
kepada Masyarakat. Ya salawatan dan rihlah mengunjungi Grand Syekh ke Luxor
juga banyak manfaatnya, tapi ada manfaat lain juga yang harus dikejar. Kalau
ngadain forum diskusi tapi di kafe gimana? Manfaat gak? Ya jelas manfaat, tapi
kalau sampai semua pengunjungnya harus dibayarin makan minumnya, itu namanya
mubadzir. Sumbangin aja anggarannya buat kekeluargaan yang Temusnya sedikit.
Kan lebih membahagiakan kedengarannya.
Ada yang menarik dari Pemilu PPMI Mesir setiap tahunnya, di mata
saya. Lantaran calon Presiden dan Wapresnya selalu bukan teman dekat saya, atau
teman sealmamater (ini jelas gak mungkin), atau teman seapa kek yang bisa
membuat saya yakin mengatakan, ya saya kenal dia dengan baik bagaimana kualitas
kepemimpinannya. Dulu zamannya Agususanto nyalon jadi Presiden PPMI, saya kenal
dia hanya tahu nama dan muka karena pernah jadi tour guide waktu pertama kali
ke Sinai. Gimana caranya saya menilai kepemimpinan dia hanya dari penampilannya
sebagai pemandu wisata, untuk jadi Presiden PPMI? Lalu berikutnya Bang Gobe.
Saya tau namanya saja di acara Pemaparan Visi Misi, dan baru ngeh bahwa Gobe
dan Abdul Ghofur Mahmudi itu orang yang sama. Berikutnya Ahmad Baihaqi. Namanya
tahu, orangnya tahu, bukan karena teman dekat, tapi karena beberapa fotonya
pernah muncul di akun @pria_tampan_masisir. Hanya karena dia tampan, jadi ia
layak jadi Presiden PPMI? Hah?
Milih pemimpin tanpa ta'arufan dulu itu mungkin mirip-mirip dengan
dijodohin sama orang yang belum kita kenal. Gitu gak sih? Tiba-tiba dia datang
dengan segudang visi misi masa depan lalu ngajak berumah tangga. Hey! Hidup ini
butuh perencanaan yang matang, dan masalah gak otomatis terselesaikan hanya
dengan jawaban “Insya Allah khoir”.
Tapi ada sisi baik tatkala kita tidak mengenal siapa calon
pemimpin yang akan dipilih. Dengan tanpa tahu dia sebelumnya, kita akan menilai
dengan kaca mata paling objektif, meskipun akan selalu subjektif pada akhirnya.
Kalau dalam penelitian sastra ada istilah kualitatif struktural, atau di referensi
Arabnya al-Manhaj al-Fanniy di mana dalam mengkaji teks murni mengkaji
apa yang disajikan naskah tanpa mempertimbangkan faktor historis, politik,
ekonomi, dan sosial tertentu. Persis seperti itu, dalam pemilu PPMI yang
calonnya tidak kita kenal sebelumnya, kita akan mampu menilai mereka murni
karena programnya dan kapasitas yang dikenalkannya. Tak perlulah kita peduli
dengan siapa timsesnya, siapa teman-teman dekatnya, bagaimana masa lalunya yang
mungkin pernah gak ikut salat ied karena telat bangun, atau di Open House KBRI
pernah salah ngambil makanan dikiranya rendang yang sudah basi ternyata
lengkuas, atau minta difotoin tapi hasilnya burem.
Di pemilu sekarang pun, saya hanya tahu nama dan muka calonnya.
Tak satupun dari mereka adalah teman dekat saya, belum pernah beli Cutterme
juga, pokonya Saya benar-benar cuma temenan sama mereka, gak ada hubungan
apa-apa. Karena saya bingung mau milih siapa, beberapa waktu lalu saya pernah
chatting dengan salah seorang kawan yang tahun lalu pernah ikut Sandwich
Program di Mesir. Itu loh, yang mahasiswa pertukaran di Suez Canal University.
“Masisir mau Pemilu ya?”
"Iya, udah mulai rame nih setelah sepi gegara ujian."
"Anak Azhar mah suka serius banget ya kalau masanya ujian
teh, padahal kita mah yang di Indo biasa aja. Mau UAS juga masih sempet dugem
dulu."
"Iya, kita mah bener-bener gak punya waktu buat selain
belajar. Ngegosip aja gak sempet. Kita mah dididik untuk bisa serius. Emangnya kamu
mau dibercandain terus? Mau diseriusin kan?"
"Ah, kumaha sia weh! BTW, siapa yang nyalon PPMI?
Banyak gak?"
"Yang rame sih sejauh ini baru dua nama."
"Aku kenal gak sama mereka?"
"Kayaknya sih kenal. Yang satu pernah ikut Simposium PPI bareng kamu"
"Wah, siapa? Balqis?"
"Jeggerr.... bukan. Namanya ... Kenal gak?"
"Oh iya kenal. Kamu nanti pilih dia aja ya, dia lumayan
ganteng kok buat jadi Presiden!"
"Ari kamu masih waras?"
"Masih. Aku mah suka gitu da, kalau gak kenal calonnya, ya
pilih weh yang paling ganteng. Teorinya, yang ganteng itu punya wibawa, dan
wibawa itu penting dalam diplomasi."
"Kalau ganteng tapi serigala?"
"Sunatan dua kali weh yang kaya gitu mah! Eh tapi
seserigala-serigalanya Masisir mah masih Azhary meureun ya, haha... ". [] *Keluarga Informatika ORSAT ICMI Kairo.
No comments:
Post a Comment