Pandu Saat Blusukan di Rakhine State |
Oleh : Pandu Utama Manggala
Koordinator PPI Dunia 2017-2018
Dalam beberapa minggu ini, konflik di Rakhine State akibat aksi represif militer Myanmar kembali menyeruak dan mengakibatkan lebih dari 60ribu etnis Rohingya melarikan diri. Melihat situasi di Rakhine yang kembali memanas ini, memori saya membawa kembali ke Desember 2014 ketika saat itu saya turut mendampingi #WamenluFachir meresmikan langsung 4 (empat) sekolah bantuan Pemri di wilayah Thaykan dan Sanbalay, Minbya Township, yang sempat terkena konflik komunal pada tahun 2012.
Perjalanan darat, laut, dan udara literally kami tempuh untuk mencapai Minbya Township, Rakhine State. Satu jam perjalanan udara Yangon-Sittwe (Ibukota Rakhine); 4 jam menggunakan speedboat dari Sittwe ke Minbya Township; dan sekitar setengah jam jalur darat ke lokasi peresmian. Saat itu, kondisi memang berangsur kondusif, dengan peresmian sekolah yang diwarnai oleh berbagai penyambutan yang meriah, baik dari pemerintah Myanmar maupun dari para murid-murid di Rakhine yang berterima kasih atas bantuan sekolah yang didirikan lewat bantuan Pemri.
Tapi memang saya sendiri merasakan ada nuansa yang berbeda ketika kami berkunjung ke desa yang dominan etnis rakhine dan desa yang mayoritas etnis rohingya. Ketika meresmikan sekolah di desa mayoritas etnis rohingya, nampak masih ada rasa takut dan kekhawatiran terpancar dari mata masyarakat di desa tersebut. Walaupun tentu saja, pendirian sekolah tersebut telah menumbuhkan harapan dan semangat dari masyarakat setempat.
Salah satu alasan mengapa ketika itu Pemri memberikan bantuan kemanusiaan dengan mendirikan sekolah adalah karena lewat pendidikanlah semuanya menjadi mungkin. Upaya rekonsiliasi jangka panjang antara etnis rakhine yang beragama Budha dan etnis bengali (Rohingya) yang beragama Islam diharapkan akan dapat tercapai lewat sekolah tersebut. Knowledge will bring us far, but friendships, even farther.
Bantuan yg diberikan Indonesia ketika itu sangat diapresiasi Pemerintah Myanmar. Terlebih saat itu belum ada negara lain yang memfokuskan pada soft approach seperti bantuan pendidikan yang diberikan Indonesia.
Indonesia sendiri selama ini terus mengedepankan pendekatan constructive engagement kepada Myanmar dengan memberikan best practices dan memberikan bantuan-bantuan teknis serta non teknis yang diperlukan. Itulah kenapa Indonesia menjadi salah satu negara yang bisa mendapat akses untuk memberikan bantuan kemanusiaan langsung ke Myanmar, mulai dari bencana topan nargis hingga konflik komunal yang terjadi di Rakhine State ini. Dan ini yang harus terus dikapitalisasi ke depannya.
Saat ini kita memang patut mengecam aksi kekerasan yang terus terjadi, yang telah mengakibatkan krisis kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya ini. Tapi memang yang paling diperlukan itu bukan menyebarkan banyak cerita hoax atau saling nyinyir, melainkan dengan turut mendukung berbagai bantuan yang tengah diinisiasi berbagai elemen, baik pemerintah dan masyarakat. Dan the least that we can do is to pray, berharap kekerasan terhadap etnis Rohingya dapat segera dihentikan dan agar segera terbangun perdamaian yang inklusif dan nonsektarian disana. Harmony can only be built by trust, not guns.
Semoga!
No comments:
Post a Comment