Foto bersama para peserta Azhary Backpaker tahap dua yang dilaksanakan pada Jum'at (18/10/19). (Sumber: Dok. Informatika/Feliani) |
Informatikamesir.com, Kairo - “Azhary
backpacker ini di bentuk sebagai usaha dari Wihdah PPMI Mesir untuk menghadirkan
tokoh-tokoh atau role model dari masisirwati yang bisa dijadikan contoh
bahkan teladan untuk adik-adiknya,” ujar Furna Hubbatalillah selaku Ketua Wihdah PPMI Mesir.
Azhary Backpacker hiasi Oktober para Masisirwati. Sembari menunggu penentuan pemenang di awal November nanti, kesungguhan panitia dalam menghadirkan azhariyah terbaik memang terasa sedari awal penyeleksian.
Selasa (8/10) menjadi kesempatan terakhir untuk melaksanakan registrasi
bagi para calon delegasi yang akan diberangkatkan ke Pondok Pesantren Al-Azfar Gorontalo.
Setidaknya ada 25 peserta terdaftar yang telah melaksanakan registrasi ulang beserta technical
meeting di kantor Wihdah Wisma Nusantara.
Tahapan pertama dilaksanakan
pada Jum’at (11/10) di aula Limas, Kemass
(Keluarga Masyarakat Sumatra Selatan). Tes tulis dan lisan pun harus dilalui oleh ke-25 peserta sedari pagi hingga petang.
Senin (14/10), panitia akhirnya mengumumkan
14 orang terpilih untuk dapat melanjutkan langkah mereka ke tahapan selanjutnya.
Tepatnya di aula Kekeluargaan
Mahasiswa Nusa Tenggara Barat (KMNTB), pada Jum’at (18/10), Azhary Backpacker
kembali menggelar tes tahap kedua berupa penulisan karya tulis yang akan
dipresentasikan oleh setiap peserta.
Tahapan
ini terasa semakin sengit. Semua peserta sama
sekali tak merasa ragu akan karya gubahannya. Pada
Minggu (20/10), para dewan juri pun mengumumkan 10 peserta terpilih untuk melaju ke tahapan berikutnya.
Gorontalo tujuannya. Di tahapan ketiga ini, para peserta diuji wawasan dan pengetahuan
ke-Sulawesian-nya.
Tahap ketiga ini menjadi tahap
yang memang lumayan menyeramkan karena para peserta diwajibkan melek
akan berita teraktual di Indonesia hingga sejarah ke-Sulawesian.
Di tahapan ini, para peserta juga
harus memperlihatkan berbagai kemampuan sekaligus keilmuan mereka mengenai u’lum syar’iyyah dengan pengujian kemampuan membaca kitab turast.
Tahapan tersebut
memang begitu complicated
di mana peserta bukan hanya diuji keilmuannya melainkan
juga diuji kepeduliannya akan tanah air.
Pada Senin (21/10), terpilihlah
enam peserta yang berhak melanjutkan ke tahap akhir penyeleksian.
Mengajar adalah tujuan utama dan pekerjaan yang harus dilakoni oleh
para delegasi terpilih yang akan mengabdi, lantas kesiapan dan metode pembelajaran
yang akan disuguhkan untuk siswa pun
tentu dipertanyakan.
Enam peserta terbaik telah menunjukan kelayakan mereka
walau pastinya panitia harus tetap memutuskan juara pertama dari kompetisi yang amat sengit ini.
Para dewan juri sedang menguji karya tulis para peserta Azhary Backpacker tahap dua. (Sumber: Dok. Informatika/Feliani) |
Terlepas dari itu semua, sebenarnya
apa itu lembaga Al-Azfar? bahkan apa tujuan Wihdah PPMI Mesir periode
2019-2020 untuk mengadakan ajang Azhary Backpacker ini?
Furna Hubbatalillah pun menjelaskan bahwa Azhary backpacker ini adalah wadah kompetisi
untuk mengembangkan skill dan kemampuan intelektualitas.
“Dengan adanya kompetisi ini, temen-temen bisa mengukur kemampuan keilmuan, sudah sampai manakah kemampuan itu? Selain itu juga, Azhary Backpacker itu sebagai wadah
untuk meng-upgrade semangat masisirwati, menjadi lonceng pengingat bahwa
mereka akan kembali ke Indonesia dan suatu saat mereka akan diminta mengabdi ke
masyarakat,” jelas Furna.
Faktanya, buletin Informatika 2016 silam telah merekam ukiran sejarah
terkait seorang Furna
Hubbatalillah yang kala itu merupakan pemenang utama dari Azhary Backpacker
2016 yang lalu.
“Karena menjadi pemenang saat
itu, sehingga dalam diri merasa ada tanggung jawab
untuk melanjutkan estafet program ini” ungkap Furna pada salah satu kru Informatika.
“Yang paling utama, karena urgensi
program ini sangat edukatif, inspiratif dan kontributif. Program ini pun mampu
menggerakkan sosok terpendam mahasiswi yang ternyata mampu untuk bersaing,” imbuh Furna.
Lantas, mengapa harus Gorontalo yang menjadi pilihan destinasi pengabdian?
“Kami memang mencari channel
yayasan di luar jawa, karena target kami memang pulau luar Jawa yang masih
kekurangan tenaga pengajar. Akhirnya bertemu dengan salah satu kawan
ibu saya yang juga salah satu pengajar di sana. Saya
dikenalkan dengan direkturnya dan beliau sangat antusias dengan program kami,” Jelas Furna.
Furna pun tidak menampik adanya
kendala-kendala dan hambatan dalam dalam pelaksanaan ajang bergengsi ini.
“Hambatan biasa yang dialami setiap organisasi. Tidak ada hambatan utama yg sangat
signifikan. Mungkin yang agak sulit adalah hambatan mencari pendonor dana agar bisa mengirim lebih banyak lagi peserta ke Indonesia,”
ungkap Furna.
Reporter: Feliani Fahila
Editor: Muhammad Nur Taufiq al-Hakim
No comments:
Post a Comment