Begitu juga dengan para sutradara kelas kakap.
Dengan gaya khas masing-masing, kita bisa menyaksikan bagaimana Burton selalu
menampilkan pesan moral bahkan dalam film-filmnya yang seringkali bernuansa
gothik, Nolan dengan tema dan plot yang mindblowing, Spielberg dan Cameron
dengan totalitas menghasilkan efek-efek cakep yang disebut-sebut melebihi
sutradara lainnya, dan banyak lagi. Mereka selalu berlomba dalam menghasilkan
karya yang paling bermutu. Meski nilai sepenuhnya berada di tangan penonton dan
kritikus, tapi bukan berarti mereka harus menyerah. Karya yang mereka hasilkan
adalah bukti hidup dan tetes darah.
Sama seperti yang diucapkan Mohammad Suyanto,
eksekutif produser film Battle of Surabaya pada rentetan Festival Film
Indonesia di Kairo, Selasa 22 November lalu. Berapa kali serial animasinya, Petualangan
Abdan, ditolak oleh banyak perusahaan televisi, hanya dengan alasan rating.
Padahal selama ini, apa siaran televisi yang diputar di layar kaca benar-benar
inspiratif dan edukatif? Justru siaran-siaran yang diputar pada hari Minggu
belakangan ini, mengajarkan anak-anak bagaimana cara tawuran dan cinta monyet
yang benar. Walhasil, ketika Battle of Surabaya mampu menyabet segenap
prestasi dan bahkan mampu menarik minat Disney untuk membantu dalam dubbing
dan distribusi ke pasar internasional, tentu kita sebagai warga Indonesia patut
berbangga.
Film animasi pertama Indonesia yang diputar di layar
lebar ini mengambil latar saat perang hebat berkecamuk di Surabaya, 10 November
1945 dan mengambil p.o.v. dari seorang anak kecil penyemir sepatu bernama Musa.
Entah disengaja atau tidak, profesi Musa kecil sebagai penyemir sepatu, mirip
sekali dengan Gober kecil pada Life and Times of Scrooge McDuck milik
Don Rosa, apalagi mengingat Suyanto akrab dengan karya-karya animasi. Seiring
alur cerita, terlihat pula kematangan Musa yang melebihi anak seusianya, tentu
karena dia hidup dalam situasi sulit dan mengalami hal-hal yang tidak lumrah
untuk seorang anak kecil, persis seperti Gober kecil.
Tapi bisa jadi, meski tidak terang-terangan berkata
bahwa Suyanto adalah penggemar anime, rendering gambar panorama yang cukup
halus, seperti mengambil gambar dari lukisan atau foto, sama seperti konsep
film-film Hayao Miyazaki dan Makoto Shinkai. Tentu bukan kebetulan jika konsep
yang diangkat sangatlah mirip, meski naif jika membandingkan Ghibli Studios
atau Comix Wave dengan STMIK Amikom, apalagi dengan peralatan studio
teman-teman Yogyakarta yang lumayan sederhana dibandingkan studio-studio di
Jepang. Hanya saja, menghasilkan sebuah karya cukup berkualitas dengan
memanfaatkan apa saja yang ada, menuntut kreativitas dan keuletan bukan main.
Mereka berhasil.
Alur yang digunakan dalam film ini bisa dibilang
maju. Di menit-menit awal, kita menyaksikan bendera Belanda yang dipasang
Ploegman dan dirobek bagian birunya oleh militan Indonesia sehingga tersisa
warna merah dan putih – warna bendera kita –, tidak terjadi kecuali setelah
tanggal 19 September. Adegan selanjutnya juga dengan gamblang menjelaskan bahwa
cerita bermula dari tiga bulan sebelum Perang Surabaya terjadi. Terlihat Musa
kecil yang sudah kehilangan ayah, bermain dengan orang Jepang bernama Yoshimura
dengan sangat akrab, seakan dia bermain dengan ayah kandungnya sendiri.
Yoshimura terlihat sebagai seorang warga Jepang yang simpatik atas perjuangan
rakyat Indonesia dan memiliki peran krusial. Besar kemungkinan, Yoshimura
adalah pengembangan karakter dari Shibata Yoichiro, tokoh Jepang yang terlibat
dalam membantu persenjataan para militan Indonesia.
Karakter-karakter yang muncul dalam film tersebut
juga cukup mendukung. Suyanto menjelaskan, untuk mengembangkan sebuah cerita,
kita membutuhkan sepuluh unsur, yang masing-masingnya diwakilkan oleh setiap
karakter dalam film. Sebut saja Danu, karakter hero yang sering kita
temukan dalam genre shounen atau film-film laga; Yumna, gadis imut
keturunan Indo-Cina sebagai love interest dari Musa dan pilar konflik
adanya Bizarre Love Triangle dengan Danu; John Wright, sebagai shadow
dalam film ini, musuh utama berhati besi yang nantinya melunak karena
kekagumannya pada Musa yang welas asih, dan banyak lagi.
Semua plot cerita dan aspek lainnya dalam film,
benar-benar pas tersaji. Scoring musik yang apik, dibawakan oleh tim
yang sama dengan pengisi soundtrack dalam film The Raid, sehingga atmosfir
ketegangan dalam film sangat terasa. Begitu juga dengan tagline: “There
is no glory in war,” yang meski sudah puluhan tahun lalu dipromosikan oleh
anime masyhur Mobile Suit Gundam dan sekuel-sekuel setelahnya, pesan
tersebut masih bisa dinikmati karena disuguhkan dengan gaya yang berbeda.
Hanya saja, ada sebuah adegan yang cukup absurd.
Urutannya begini, jika adegan tersebut ditampilkan setelah adegan haru pilu
ketika Musa kecil membaca surat-surat tentara yang meninggal pada 10 November,
lantas ditutup dengan adegan tokoh-tokoh yang seharusnya sudah tenang di alam
sana kembali hidup dan tertawa, ditambah orang-orang Jepang, Inggris dan
Belanda yang mengibarkan bendera negara masing-masing di atas jembatan
Suramadu, benar-benar menjadi adegan yang sangat antiklimaks. Pesan moral untuk
keguyuban antar negara memang tersampaikan, tetapi dalam porsi yang melebihi
wajar dan mungkin bisa dinikmati jika penontonnya adalah anak-anak saja.
Padahal seharusnya ini film keluarga. Pesan masih tetap tersampaikan dalam
beberapa adegan sebelumnya, saat John Wright tidak jadi menembak Musa karena
Musa pernah menyelamatkan nyawanya, juga saat Musa tua yang memberikan topi
nostalgiknya kepada sang cucu, dan si cucu bisa tersenyum lepas. Jika senyum si
cucu dan lari riangnya menjadi adegan penutup, sepertinya sudah cukup.
Beberapa penonton juga sempat mengeluhkan antara
judul yang tidak pas dengan film, karena film lebih menyorot Musa dan
perspektifnya terhadap peperangan, bukan Perang Surabaya secara langsung.
Tetapi jika mereka pernah menonton Pearl Harbor dan Tora! Tora! Tora!,
saya yakin mereka tidak akan mempermasalahkan.
Battle of Surabaya hanyalah salah satu film dari
rentetan acara FFI di Mesir yang mungkin pantas sebagai promosi kebudayaanJihad
Selfie, yang pas dengan dengan isu politik yang merebak di Mesir, perlu
ditayangkan di sini terlebih setelah kasus yang menimpa Wildan Mukhallad. Meski
sangat disayangkan, seharusnya sebuah acara khusus seperti diskusi atau bedah
film, perlu diadakan setelah pemutaran film dengan tema yang super serius
seperti Jihad Selfie ini, apalagi jika pasar konsumen yang dituju adalah
mahasiswa. Sedangkan Ada Surga di Rumahmu memiliki kelebihan tersendiri
karena bintang tamu yang diundang. Kesannya mirip seperti pemutaran film Ada
Apa dengan Cinta 2 dan talk show bersama para aktor yang diadakan oleh PPI
Belgia tidak lama sebelum ini.
Pemilihan film-film untuk ditayangkan dalam festival
ini dipilih juga pastinya usulan dari sebuah tim kreatif. Memang ini adalah program
dari atasan yang diadakan serentak ke beberapa negara sekaligus. Tapi jika
dibandingkan dengan event yang sama di Belanda dan menghadirkan film-film Riri
Riza seperti AADC 2, Drupadi, Atambua 390 C dan Athirah,
tentu Festival Film di sana akan lebih menarik minat massa baik lokal maupun
warga Indonesia sendiri, karena film-film itu masih hangat dan nama Riri
sendiri sudah cukup masyhur.
Saya menduga, Ketika Cinta Bertasbih dipilih
karena latar yang diangkat adalah Mesir, dan itu sangat sesuai dengan lokasi
diselenggerakannya festival. Tetapi mengapa KCB pertama yang diputar,
bukan sekuelnya? Pastinya mayoritas orang sudah menonton. Jika alasannya adalah
ditakutkan penonton bakal tidak ngeh dengan jalan cerita KCB 2 tanpa
menonton prekuelnya, saya kira kawan-kawan di Belanda tentu tidak akan memilih AADC
2. Walhasil, testimoni kawan-kawan yang datang pada hari itu sangat bisa
diprediksi, mereka ‘terpaksa’ menonton dan sungguh tidak sabar untuk segera
menikmati acara Talk Show bersama Kang Abik.
Kedua, Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara yang
sudah diulas oleh dua kawan saya. Keganjilan utama dalam film ini adalah plot.
Padahal film bertema senada seperti Denias atau Di Timur Matahari
yang juga mengangkat pentingnya pendidikan, lebih pantas disuguhkan, dan meski
tayang sudah lama, pesan moral dan plotnya kuat terjaga. Begitu juga dengan
film Soekarno, garapan Hanung Bramantyo. Meski film ini mengangkat figur
presiden Indonesia yang terkenal sangat dekat dengan Anwar Sadat, tetapi karena
film ini terlalu banyak mengungkap kepribadian presiden kita dengan terlalu
dramatis, imej yang muncul di film malah jatuh berantakan. Khawatirnya, jika
impresi yang muncul dari Soekarno malah mengubah paradigma warga Mesir
yang turut menonton film, justru FFI jadi bumerang makan tuan, padahal
ditayangkan justru di hari terakhir.
Festival Film di Mesir sempat menjadi momen yang
dinantikan oleh Masisir, karena besar harapan seluruh film yang diputar (bukan
cuma sebagian) adalah film berkualitas, baik dari sinematografi maupun plot,
dan film-film indie yang notabene lebih mengedepankan kualitas daripada
mengejar konsumsi pasar. Begitu juga film-film tersebut cocok menjadi promosi
budaya Indonesia kepada Mesir, tetapi dengan memperhitungkan faktor
plus-minusnya dengan sangat matang. Manusia tidak pernah merasa puas dan selalu
salah, istilah ‘manusiawi’ muncul gara-gara itu. Namun seorang manusia sebagai
makhluk yang sempurna, tentu akan selalu belajar dari kekurangan dan kesalahan.
Mirip yang dikatakan Thomas Wayne kepada anaknya, Bruce, di Batman Begins.
No comments:
Post a Comment