Ilustrasi: Freepik.com |
Oleh: Muhammad
Nur Taufiq al-Hakim*
Dalam sebuah hadis bersanad ḥasan
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, yang mana termaktub dalam kitab Musnad
Aḥmad Ibn al-Ḥanbali di hadis ke 18.406, dijelaskan bahwasanya periode masa
kehidupan manusia semenjak masa kenabian terbagi menjadi lima masa. Hadis
tersebut berbunyi:
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا
شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ
خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ
ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا
عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ
أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ
أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ
خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
Artinya:
“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin
Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika dia berkehendak
mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia
ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika dia
berkehendak mengangkatnya. Kemudian aka nada kekuasaan (kerajaan) yang zalim.
Ia juga ada atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika
dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator
yang menyengsarakan. Ia juga ada atas izin Allah akan tetap ada. Lalu Dia akan
mengangkatnya jika dia berkehendak mengangkatnya. Selanjutnya akan ada kembali
Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” Beliau kemudian diam. (HR. Ahmad).
Menurut penjelasan dari Syekh
Abdullah bin Wakil selaku anggota lembaga pengajaran di Universitas Imam
Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah, periode masa yang pertama adalah masa
kenabian, yaitu masa turunnya wahyu dari Allah SWT kepada rasul dan nabi-Nya
dan berakhir dengan wafatnya penutup para nabi dan rasul Muhammad Saw. Masa
yang kedua adalah Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Periode ini
adalah masa para Khulafaur Rasyidin dari Abu Bakar as-Siddiq hingga Ali bin Abi
Thalib yang berkurun waktu 30 tahun. Masa yang ketiga adalah masa pemerintahan
dan kekuasaan yang penuh ketidakadilan dan kedzaliman. Mulkan ‘Âdlan
secara bahasa diartikan kekuasaan yang menggigit yang dapat dimaknai juga
dengan pemberlakuan sistem Monarki dalam pemerintahannya. Masa ketiga ini
dimulai sejak munculnya Daulah Umayyah di abad ketujuh masehi hingga runtuhnya
Daulah Turki Usmani di awal abad ke 19 masehi.
Kemudian, periode masa sebelum
terakhir, yaitu masa keempat adalah masa pemerintahan dan kekuasaan yang tirani
dan penuh pemaksaan dari para pemimpinnya. Di masa ini, timbul banyak sekali
fitnah dari para pemimpin yang mana berperan besar dalam penciptaan berbagai
konflik berskala besar. Timbulnya kekacauan dan huru-hara di berbagai aspek
kehidupan juga menjadi ciri khas dari masa keempat ini. Lalu datanglah periode
masa terakhir, yaitu masa kelima, dimana kehidupan umat manusia kembali ke
jalur yang benar seperti halnya di masa kenabian. Berdasarkan uraian di atas,
para ulama meyakini bahwasanya munculnya Imam Mahdi dan turunnya Nabi Isa a.s ke dunia untuk membawakan panji-panji keislaman kepada umat manusia
merupakan akhir dari sejarah umat manusia. Namun, sebelum hal itu terjadi,
perlu diingat baik-baik bahwasanya Imam Mahdi dan Nabi Isa a.s tidak akan
muncul sebelum Dajjal menampakkan dirinya ke hadapan umat manusia. Tentunya segala
huru-hara dan kekacauan yang terjadi di muka bumi sebelum dan selama
kemunculannya, termasuk diantaranya krisis moral, merupakan suatu hal yang tak
dapat dihindari. Sehingga perlu kita sadari, sebagai seorang muslim yang yakin
terhadap kabar dari Rasulullah Saw. bahwasanya di masa inilah kita hidup
sekarang.
Tak dapat dipungkiri, bahwasanya
masa dimana kita hidup saat ini merupakan suatu masa yang kurang ramah terhadap segala sesuatu yang
menunjukkan perilaku moral yang baik. Sumber-sumber pengetahuan berbasis metafisik
semisal al-Qur’an yang faktanya merupakan pedoman moral terbaik yang dimiliki
umat manusia, seolah dikesampingkan jika dihadapkan dengan pengetahuan yang
berbasiskan empiris yang sejatinya merupakan hasil murni usaha segolongan
akademisi dan ilmuwan untuk dapat memuaskan hasrat keingintahuannya tentang
dunia tempat mereka tinggal. Dunia Barat yang dianggap sebagai kiblat kemajuan suatu
bangsa, telah berhasil mencetak para akademisi maupun ilmuwan yang dengan
kemampuan intelektual mereka, diyakini mampu mengatasi berbagai persoalan hidup
mayoritas manusia melalui perancangan sistem-sistem pengatur pola hidup. Dengan
menggaungkan jaminan kesejahteraan dan kemakmuran, Teknologi dan modernisasi dijadikan
ujung tombak dari sistem yang mereka ajukan kehadapan umat manusia.
Namun dalam pengaplikasiannya,
alih-alih memberi kesejahteraan dan kemakmuran, justru sistem-sistem tersebut
menciptakan masalah dan krisis baru bagi umat manusia yang seakan-akan
kehadirannya memupus seluruh manfaat yang ditimbulkannya. Nampaknya, segala
jaminan baik yang ditawarkan sistem-sistem tersebut hanya berlaku bagi
minoritas umat manusia yang sekaligus mengakibatkan hal yang sangat bertolak
belakang kepada mayoritas manusia yang lain. Kemajuan teknologi sebagai media
sosial dan hiburan, serta arus modernisasi dengan sistem Produsen-Konsumen-nya
yang melebihi batas kewajaran merupakan contoh konkret dari penciptaan berbagai
krisis yang melanda umat manusia. Krisis moral adalah satu dari sekian banyak
buah permasalahan yang dihasilkan dari implementasi sistem-sistem rancangan
mereka. Saat ini, disadari atau tidak, semua sistem tersebut telah mengakar
kuat dalam pola kehidupan mayoritas umat manusia saat ini.
Teknologi dengan perannya sebagai sarana
telekomunikasi, telah menciptakan hegemoni yang kuat dalam pola kehidupan sosial
umat manusia. Begitu mudahnya seseorang untuk dapat berinteraksi dengan orang
lain dari tempat yang jauh benar-benar telah membuat jurang pemisah antara
manusia dengan lingkungan sekitarnya. Keadaan ini telah mencapai titik dimana
dua orang yang sedang duduk bersampingan-pun terkadang lebih memilih
berkomunikasi dengan aplikasi media sosial di gadget alih-alih lisan mereka.
Media sosial berbasis internet, dengan berbagai fitur yang mendukungnya, juga menjadi
perantara atas terjadinya berbagai tindak kriminal atau yang biasa disebut cyber
crime semisal tindakan hacking dan spamming. Dikutip dari
liputan berita BBC Indonesia, Sean Parker yang merupakan salah satu dari
beberapa orang yang bertanggung jawab membangun Facebook, mengakui adanya dampak
buruk dari media yang ia bangun tersebut. ”Dasar pikiran dari untuk membangun
aplikasi-aplikasi ini, dan Facebook terutama, adalah tentang: “Bagaimana kita
menghabiskan waktu Anda dan perhatian Anda sebanyak-banyaknya,” tungkas Sean
Parker saat berbicara kepada Mike Allen dari perusahaan Axios.
Teknologi juga memiliki peran khusus
sebagai sarana hiburan. Melalui musik, film, acara televisi, dan video game,
berbagai propaganda tindakan-tindakan amoral tersebar luas. Aleister Crowley,
seorang penulis berkebangsaan Inggris yang juga dikenal luas sebagai “Bapak
Satanisme Modern”, adalah aktor utama dalam penyebaran propaganda tersebut.
Dalam bukunya yang berjudul “The Book of Law”, ia memberikan asas pokok
dari semua ajarannya yang berbunyi “Do what thou wilt, shall be the whole of
the law,” yang artinya “Lakukanlah apa yang menjadi kehendakmu, yang mana akan
menjadi keseluruhan hukum”. Pemahaman ini telah banyak mempengaruhi para
akademisi dan ilmuwan yang pada akhirnya menghasilkan berbagai buah pemikiran
yang sangat kontroversial.
Seorang profesor di Universitas
Harvard bernama Timothy Leary, dikenal luas sebagai seorang psikolog yang
menganjurkan penggunaan obat-obatan psikedelik dalam kondisi yang terkendali
yang pada penerapannya justru digunakan sebagai pemicu rasa mabuk oleh
kebanyakan orang. Alfred Kinsey yang merupakan seorang ilmuwan biologi asal
Amerika Serikat, telah menghancurka budaya sosial yang ada dengan penyebar
luasan hasil riset palsunya mengenai adanya kecenderungan yang besar bagi
seorang manusia untuk dapat menyukai sesame jenisya. Dan masih banyak lagi
berbagai penyimpangan moral yang digaungkan oleh para akademisi dan ilmuwan
dengan sarana hiburan sebagai media penyebarannya.
Sementara
itu, arus modernisasi berupa penerapan sistem produsen-konsumen seakan datang
untuk memperparah kondisi moral yang telah terkikis sebelumnya. Melalui sebuah
film dokumenter, John Pilger menjelaskan secara gamblang, bagaimana nasib para
buruh pabrik perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di
negara-negara berkembang, termasuk di dalamnya Indonesia. Merk-merk besar
seperti Nike dan juga GAP yang memenuhi seluruh outlet baju dan toko penyedia
peralatan olahraga di seluruh dunia, faktanya telah benar-benar mengabaikan
kode etik yang seharusnya mereka terapkan kepada para buruh mereka. Dengan upah
perhari sebesar Rp.9.000.-, mereka dipaksa untuk bekerja 18 jam sehari, dan
akan menjadi 24 jam jika ada tuntutan ekspor barang yang harus segera
didistribusikan. Menurut keterangan Dita Sari, selaku pimpinan organisasi
buruh, para investor asing beramai-ramai datang ke Indonesia dengan adanya
jaminan upah buruh murah yang ditawarkan oleh pemerintah. Dengan dalih
penciptaan lapangan kerja baru, para buruh terpaksa menerima pekerjaan apapun
yang diembankan oleh pemilik perusahaan, mengingat mereka sudah dalam keadaan
yang sangat miskin. Terciptanya kondisi seperti ini menjadikan tindak kriminalitas
diantara golongan masyarakat menengah ke bawah seolah tak dapat dihindarkan.
*) Penulis adalah mahasiswa al-Azhar Kairo tingkat 2 program studi Ushuluddin
No comments:
Post a Comment